Monday, February 23, 2015

Teori Al-‘Urf (Adat Kebiasaan Yang Dipertimbangkan Menjadi Hukum)

Pengertian al-‘urf : al-amru al-mutakarriru min gairi ‘alaqah ‘aqliyah (Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkesinambungan). Jadi al-‘adat adalah sesuatu yang dilakukan/terjadi secara berulang-ulang baik dalam kehidupan pribadi (individu) maupun dalam kehidupan komunal.

Pada dasarnya secara bahasa al-‘urf dan al-‘adah memiliki satu makna. Karena al-‘adah terambil dari al-mu’awadah (sesuatu yang ditradisikan) sehingga menjadi dikenal dan mapan di tengah masyarakat. Sedangkan al-‘urf menurut bahasa memiliki makna al-ma’rifah. Kemudian dimaknai dengan suatu yang baik (al-syai’ al-muhsain). Al-Ma’ruf lawan dari kata al-munkkar. Akan tetapi para ulama ushul dan fiqh mengkaitkan al-adah dengan perorangan atau individu.

 

Jika sesuatu itu sudah menjadi umum dan menyebar, serta dipraktekkan secara berkesinambungan di tengah masyarakat maka disebut al-‘urf. Dengan demikian al-‘urf bersifat umum dan mayoritas. Sedangkan al-‘adah hanya berlaku bersifat khusus. Keumuman al-‘uruf bagi seluruh atau mayoritas masyarakat sekaligus membedakannya dengan ijma’, karena ijma’ hanya merupakan kesepakatan mayoritas para mujtahid. Atas dasar ini maka ditetapkanlah
 
Kaidah fiqhiyah yang terkait dengan al-‘urf yaitu: إنما تعتبر العادة إذا اطردت أو غلبت

Dilihat dari aspek penggunaannya, al-‘Urf dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. al-‘Urf Qauli
2. al-‘Urf al-‘Amali

Dilihat dari aspek keumumannya al-‘Urf dibagi menjadi dua yaitu:
1. al-‘Urf al-‘am
2. al-‘urf al-Khas

Sedangkan bila dilihat dari kesesuaian dan ketidak kesesuaiannya dengan syari’ah, al-‘urf dibagi menjadi dua yaitu:
1. Urf Sahih
2. ‘Urf Fasid atau ‘Urf Bathil

Kaidah Fiqh yang berkaitan dengan al-‘urf  adalah :  العادة محكمة 

Sumber Kaidah adalah perkataan Ibn Mas’ud:  ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحا فهو عند الله قبيح 

Kualitas hadis ini tergolong hadis hasan, sekalipun mauquf, namun dihukum marfu’. Menurut al-‘Alaai “saya tidak menemukan hadis ini sebagai hadis marfu’ di dalam berbagai kitab hadis sekalipun dengan sanad yang daif, kecuali hanya perkataan Ibn Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, juga oleh al-Tabrani dan al-Baihaqi.

Sumber kaidah al-‘urf dari al-Qur’an:  ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا

Beberapa Kaidah yang dikembangkan dari kaidah al-‘aadatu muhakkamatun:
1. الكتاب كالخطاب
2. المعروف عرفا كالمشروط شرطا
3. التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
4. المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
5. لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان

Status Yadu Amanah dapat berubah menjadi Yadu Dhomanah karena beberapa sebab antara lain adalah pertimbangan al-‘Urf. Sebagian Fuqaha’ Hanafiyah dan Malikiyah bahwa berdasarkan al-‘urf yadu amanah dapat berubah setatusnya menjadi yadu dhomanah, karena alasan:  العادة محكمة dan العرف حجة يلزم العمل به ما لم يخالف نصا شرعيا

Contoh aplikatif mengenai masalah tersebut antara lain dikemukakan oleh fuqaha’ Hanabilah yang mengatakan bahwa para hurros (tukang jaga) barang tidak dapat dibebankan ganti rugi, namun seperti dikemukakan oleh penulis Kasyfu al-qina’ bahwa para hurros dibebani ganti rugi atas pertimbangan ‘urf:  والعرف الآن ضمان الحارسين ، لأنهم يستأجرون على ذلك

Makna yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Nujaim ketika menjawab pertanyaan dan mengomentari kaidah: المعروف كالمشروط beliau mengatakan:
وقد جرى العرف في المطابخ بضمانها على المستأجر فأجبتُ بأن المعروف كالمشروط ، فصار كأنه صرح بضمانها . والعارية إذا اشترط فيها الضمان على المستعير تصير مضمونة عندنا في رواية .

Catatan: Disamping atas pertimbangan al-‘urf perubahan status yadu amanah menjadi yadu dhomanah juga karena:
  1. al-Ta’addi yaitu melakukan kezaliman atau melewati batas, atau melampaui wewenangnya secara syara’ maupun ‘urf. Para fuqaha’ sepakat bahwa ta’addi yang dilakukan oleh al-amin mewajibkan al-dhoman, seperti al-ta’addi yang dilakukan oleh al-wadi’ terhadap al-wadi’ah dengan merusak atau memanfaatkan tanpa seizin pemilik. Atau al-taa’di yang dilakukan oleh al-mudharib dengan melakukan sesuatu diluar kontrak dengan sohib al-mal. Seperti juga al-ta’addi yang dilakukan oleh al-ajir dengan tidak mengindahkan perintah al-musta’jir, atau juga tindakan wakil yang melampaui wewenang yang didelegasikan oleh al-muwakkil. Mereka ini diwajibkan dhoman karena sebagai pelaku langsung (mubasyir) yang merusak, atau penyebab rusaknya harta secara zalim maupun dengan sikap bermusuhan. Jika terjadi perselisihan antara al-amin dengan sohib al-mal tentang prilaku ta’addi ini, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada para ahli atau orang yang memiliki kompetensi untuk itu. Solusi seperti ini sesuai dengan petunjuk Majallatu al-ahkam al-syar’iyah ‘ala mazhabi Ahmad.
  2. Al-Tafrith menurut bahasa al-taqshir dan al-tadhyi’. Sedangkan al-Ifrath bermakna al-isrof wa mujawazatu al-had. Menurut al-Jurjani al-ifroth digunakan pada tajawazu al-had min janib al-iyadah wa al-kamal. Sedangkan al-tafrith digunakan pada tajawazu al-had min jihat al-nuqshon wa al-taqshir. Para fuqaha’ sepakat bahwa yad amanah dapat berubah status menjadi yad dhomanah karena berprilaku tafrith. Hal ini bias terjadi pada mudharib, wadi’, musta’jir atau juga mitra. Standar tafrith yang mengharuskan al-dhoman itu ditakar dengan al-urf.
  3. Tatawwu’ul amin bi iltizam ad-dhoman ba’da al-‘aqdi (kesanggupan dari al-amin secara suka rela untuk melakukan ganti rugi setelah akad), menurut mazhab maliki hal ini masuk dalam kategori tabarru’.
  4. al-Maslahah: Ganti rugi dapat dibebankan kepada yadu amanah semata-mata berdasarkan kemaslahatan.
  5. Al-Tuhmah: Maksudnya terdapat dugaan kuat bahwa terjadi kebohongan dari al-amin yang menyatakan bahwa barang atau lainnya rusak tapi bukan karena al-ta’addi atau al-tafrith.
  6. Isytiroth al-dhoman ‘ala al-amin (menetakan syarat ganti rugi bagi al-amin baik itu mudharib, musta’jir, wadi’, wakil, syarik atau lainnya).
Mengenai hal ini terdapat 3 pendapat para fuqaha’ :
  1. Pendapat pertama: syarat yang ditetapkan tersebut adalah batal  karena tidak sejalan dengan karaktristik akad yang berstatus amanah. Pendapat ini dikemukakan oleh fuqaha’ Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dalam salah satu pendapatnya yang populer. Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh al-Sauri, Auza’i, Ishaq, Nakha’i, dan Ibn al-Munzir. Atas dasar pendapat ini muncul kaidah fiqh dalam mazhab Hanafi: اشتراط الضمان على الأمين باطل
  2. Pendapat kedua: Menetapkan syarat karena factor-faktor yang mengkhawatirkan pemilik modal misalnya, dapat dibenarkan dan diberlakukan jika sesuatu yang dikhawatirkan itu dalam kenyataannya merusak harta atau barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Muthorrif dari mazhab Maliki.
  3. Pendapat ketiga: Syarat tersebut sahih dan mengikat. Pendapat ini dikemukakan oleh Qatadah, Usman al-Buttiy, Ubaidillah ibn Hasan al-‘Anbari, Dawud al-Zohiri dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Dan pendapat Malikiyah yang kurang popular, dan pendapat yang relative lemah dalam mazhab Hanafi, namun pendapat ini didukung dan dibela oleh Imam Syaukani seorang pemikir pembaharu dalam bidang fiqh. Beliau mengemukakan alasan:  التراضي هو المناط في تحليل أموال العباد، والمسلمون على شروطهم

Share this history on :
Comments
0 Comments

0 Komentar:

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...