Tuesday, February 24, 2015

Sebuah Catatan Untuk Keputusan MK Terkait Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Ttg Perkawinan

Oleh: Ahmad Mifdlol Muthohar

Keputusan spektakuler telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Jum’at (17/2/2012) lalu. Institusi yang dipimpin oleh Mahfud MD itu mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan saksi atau tesDeoxyribo Nucleic Acid (DNA). Putusan MK dengan Nomor 46/PUU-IX/2011 tersebut dibacakan oleh Ketua MK, Mohammad Mahfud MD didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.



Keputusan tersebut bermula dari kisah kasih antara Machica-Moerdiono. Machica adalah mantan artis dangdut tahun 90-an yang bernama asli Aisyah Mukhtar. Sedangkan Moerdiono adalah mantan menteri sekretaris Negara era Soeharto. Seperti diberitakan Machica menikah sirri dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir seorang anak bernama M. Iqbal Ramadhan, tapi tidak diakui Moerdiono.


Machica Mukhtar lalu menggugat Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan Pasal 43 Ayat (1) dari UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata kepada ibunya. Alasannya Machica ingin memperjuangkan pengakuan anaknya, hasil dari pernikahan sirri dengan menteri sekretaris negara era Orde Baru.

Langkah itu pun ia tempuh dengan berbagai cara mulai dari pengajuan ke Pengadilan Agama Tiga Raksa Tangerang sampai pengaduannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dan langkah terakhir yang ditempuhnya adalah mengajukan judicial review (hak uji materiil) kepada MK atas Pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (2) berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”  Sedangkan Pasal 43 Ayat (1) tersebut berbunyi,  “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

Permohonan Machica ini kemudian dikabulkan oleh MK. Dalam putusannya nomor 46/PUU-IX Tahun 2011, MK menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Dalam pertimbangannya, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan perkawinan. Itu juga dapat didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Barangkali dalam hal ini MK berasumsi bahwa bayi tidak bersalah atas kelahirannya. Setiap bayi memang dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga tidak semestinya ia dirugikan akibat ulah orang tuanya. Sebagaimana terdapat dalam hadits: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ… (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalan keadaan suci (fitrah) lalu kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, atau Nasrani atau Majusi… (HR. Bukhari)

MUI Tidak Terima

Menyoal judicial review, memang sudah merupakan kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Judicial review berfungsi untuk menguji suatu peraturan, jika suatu peraturan bertentangan dengan konsiderans di atasnya (UUD 45), maka harus ditangguhkan dan dinyatakan tidak mengikat.

Perlu diingat, sebuah rancangan Undang-Undang (RUU) sebelum disahkan, terlebih dahulu dilakukan pengkajian-pengkajian dari berbagai macam disiplin ilmu. Selain itu diadakan juga pendekatan-pendekatan etis, filosofis, sosiologis, budaya dan agama. Setelah semua proses itu, maka mengkristallah rancangan tersebut menjadi sebuah Undang-Undang. Hal ini juga terjadi pada Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang tidak bisa dikritisi hanya dari satu pendekatan atau satu segi saja. Jika itu yang dilakukan MK, maka akan sangat berantakan.

Namun di sisi lain putusan MK dalam kasus di atas dapat mengembalikan hak-hak dan perlindungan anak di luar nikah. Tetapi tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru di belakang akibat dari putusan MK ini. Tentu kita semua tidak ingin ini terjadi. Sangat disayangkan keterangan juru bicara MK yang mengatakan mereka tidak masuk ke ranah agama dalam memutus perkara ini. Majelis MK hanya mendahulukan kepentingan anak semata.

Karenanya wajar jika kemudian Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Makruf Amien menegaskan bahwa, putusan MK tersebut sangat kontroversial di kalangan umat Islam dan menimbulkan kegelisahan luar biasa, melanggar syariat Islam dan merubah tatanan Islam. Menurut Makruf, akibat dari keputusan MK tersebut sama saja dengan mendudukkan anak hasil zina sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, baik dari segi kewajiban memperoleh nafkah maupun hak waris. Menurutnya, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak perlu dengan memberikan ‘hubungan perdata’ kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya. Akan tetapi perlindungan tersebut dengan menjatuhkan hukuman (ta’zir) kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah,” tandasnya.

MUI, sebagaimana dikatakan Makruf, berharap kepada MK untuk memberi tahu dan mengundang jika ada pengujian undang-undang yang berkaitan dengan ajaran Islam pada masa mendatang. Lebih jauh, Makruf mengatakan bahwa pihaknya juga merekomendasikan kepada DPR RI dan pemerintah untuk mengajukan dan membahas revisi UU tentang MK dengan mengatur kembali hal-hal terkait dengan pelaksanaan kewenangan MK yang pokok-pokoknya telah diatur dalam UUD 1945 agar menjadi lebih proporsional, tidak berlebihan, dan melampaui batas-batas kewajaran.

Hukum Islam tentang Anak Hasil Zina


Sayyid Sabiq mengatakan bahwa anak hasil zina tidak dapat saling mewarisi -memperoleh dan memberikan warisan- dengan ayah biologisnya. Anak zina dalam fikih disamakan dengan anak mula’anah/li’an. Anak li’an adalah anak yang suami syar’i dari ibu anak tadi menafikan bahwa itu anak darah dagingnya, karena tuduhan selingkuh terhadap ibunya anak tadi. Menurut ijma’ ulama, anak zina dan anak li’an tidak dapat saling mewarisi dengan ayah biologis atau ayah syar’i dari anak tersebut. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Umar bahwa pernah ada seorang lelaki yang mengatakan li’an pada isterinya pada masa Nabi s.a.w. dan ia tidak mengakui anak yang dilahirkan isterinya waktu itu sebagai anak darah dagingnya. Lalu Rasulullah s.a.w. memisahkan antara ayah dan anak tersebut dan menisbatkan nasab anak tersebut hanya pada ibunya. Berikut haditsnya: “Rasulullah s.a.w. menjadikan warisan anak li’an itu untuk ibunya dan ahli waris ibunya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, kedudukan anak zina adalah orang lain bagi ayahnya yang pelaku zina, artinya:
1. Anak tersebut tidak dapat saling mewarisi harta -memperoleh warisan- dengan ayahnya;
2. Anak tersebut tidak dinasabkan kepada ayahnya;
3. Tidak wajib bagi seorang ayah untuk menafkahi anak hasil zinanya;
4. Tidak diperbolehkan besanan (musaharah) di antara keduanya dan juga masing-masing tidak diperbolehkan menikahi anak/cucu keturunannya di kemudian hari. Demikian pula tidak diperkenankan menikah dengan ayah/ibu atau kakek/nenek masing-masing (jalur keturunan ke atas).

Khusus bagi anak perempuan hasil zina,  ada tambahan sebagai berikut:
1. Ayah tidak diperbolehkan berkhalwat (berduaan dalam majelis tertutup) dengannya (karena bukan mahramnya);
2. Ayah tidak memiliki wilayah perwalian nikah anak perempuan tadi;
3. Ayah tidak boleh menikahi anak perempuan tadi.

Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa masing-masing anak zina dan anakli’an/mula’anah tidak dapat saling mewarisi dengan ayahnya dan kerabat ayahnya. Pendapat tersebut adalah ijma’ ulama. Anak tersebut hanya dapat memperoleh warisan dari sisi ibu saja, karena nasab pada ayahnya terputus (munqati’). Hal itu dikarenakan syariah Islam tidak mengakui zina sebagai jalur syar’i untuk digunakan sebagai itsbat nasab. Demikian pula anak li’an nasabnya belum dapat dibuktikan (itsbat) dari jalur ayahnya.

Jadi, menurut Imam empat-Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali- masing-masing anak tersebut –anak zina dan li’an- hanya dapat memperoleh warisan dari ibunya dan kerabat ibunya. Kerabat ibu yang dimaksud adalah saudara-saudara sekandung ibunya, karena hubungan anak tersebut dengan ibunya adalah meyakinkan (mu’akkadah) tidak ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan hubungannya dengan ayah.

Adapun Syi’ah Imamiyyah berpendapat bahwa antara anak zina dan ibunya serta kerabat ibunya, tidak dapat saling mewarisi. Sebagaimana hal itu juga berlaku pada ayahnya yang berzina dan kerabat ayahnya, karena harta warisan itu adalah nikmat yang Allah berikan pada ahli waris, karenanya faktor penyebab memperoleh warisan tersebut tidak boleh karena tindak kriminal, yakni zina. Akan tetapi jika anak li’an, menurut Syi’ah Imamiyyah masih dapat memperoleh warisan dari ibunya, karena meurut mereka boleh jadi pengakuan salah satu dari ayah atau ibunya adalah bohong, sehingga tindak kriminal –dalam hal ini pengakuan bohong- menjadi penyebab peniadaan hubungan nasab.

Menurut Zuhaili, pendapat pertama –pendapat empat Imam- tentang anak zina adalah lebih ringan untuk si anak, karena tindak kriminal itu adalah perilaku sang ibu, sehingga anak tidak semestinya tersiksa karena tindakan tersebut.

Berbeda dengan sang ayah, karena pembuktian nasab darinya belum meyakinkan. Oleh karenanya UU Mesir (Pasal 47), dan UU Suria (Pasal 303) menyebutkan sebagai berikut: “Anak zina dan anak li’an dapat memperoleh warisan dari ibunya dan kerabat ibunya. Demikian pula sebaliknya mereka dapat memperoleh warisan dari anak tersebut.”

Dalil yang diambil dalam hal ini adalah hadits berikut: “Siapapun lelaki yang berzina dengan gadis merdeka atau gadis budak maka anaknya adalah aank zina, tidak dapat memperoleh warisan dan tidak dapat memberikan warisan.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya).

Dari Nabi s.a.w. bahwasanya: “Beliau s.a.w. menjadikan warisan anak li’an untuk ibunya dan kerabat ibunya.” (HR. Abu Dawud, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya).

Demikian pula dalam hadits tentang dua orang suami-isteri yang saling melakukanli’an riwayat Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Dan wanita itu (kemudian) hamil, lalu nasab anaknya dinisbatkan kepadanya, sehingga sunnah kemudian berlaku bahwa anak (li’an) dapat memperoleh warisan dari  ibunya dan ibunya juga dapat memperoleh warisan darinya.”

Bahkan dalam mazhab Maliki disebutkan bahwa orang yang merubah kelaminnya, orang yang ucapannya seperti wanita (kemenyek) dan anak zina itu makruh dijadikan sebagai imam tetap (ratib), baik shalat fardhu maupun shalat sunnah seperti shalat ‘id.

Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan semua ulama bersepakat (ijma’) bahwa anak zina tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Akan tetapi hanya memilikii hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bahkan sebagian ulama -Syi’ah Imamiyyah- berpendapat bahwa anak zina tersebut tidak memiliki hubungan perdata baik dengan ibunya, ayahnya, maupun kerabat ibu dan ayahnya.

Akar Permasalahan Dilema
 



Memang tidak dipungkiri bahwa sebagian kalangan ada yang menyayangkan adanya polemik yang berkepanjangan tentang masalah ini. Menurut kalangan tersebut, semestinya umat Islam terbiasa untuk menentukan suatu tindakan hukum melalui beberapa persepsi atau pandangan, dari sudut mana kita melihat dan akhirnya menghasilkan keputusan yang berbeda-beda. Dan perlu difahami bahwa dengan adanya pandangan dan sudut pandang yang berbeda itu menjadikan nuansa berfikir kita tidak sempit. Karenanya uji materiil yang disetujui MK itu harus dilihat dari sudut pandang penguatan hak asasi manusia utamanya hak anak. Sementara syariah Islam tentang nikah memiliki entitas tersendiri yang berbeda dengan HAM. Hukum Islam memiliki logika berpikir yang berbeda dengan logika berpikir masyarakat modern, walaupun dalam beberapa hal bisa bertemu.

Betapapun polemik tersebut dapat disiasati dengan melalui sudut pandang yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, kenyataannya polemik antara MK dan MUI ini tetap menarik untuk dicermati dan sampai sekarang masih belum ada upaya-upaya signifikan untuk mempertemukan kedua polemik tersebut.

Menurut Mahsun fuad, tipologi tema-tema pemikiran hukum Islam di Indonesia mengarah kuat pada empat pola, yaitu:
1. Kontekstualisasi-mazhabi responsi-simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih Indonesia, yang diprakarsai oleh Hasbo ash-Shiddieqy;
2. Rekonstruksi-interpretatif responsi-simpatis partisipatoris pada tema pemikiran fikih mazhab nasional dan reaktualisasi ajaran Islam, yang dipelopori oleh Hazairin dan Munawir Sjadzali;
3. Rekonstruksi-interpretatif responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran agama keadilan, yang dirintis oleh Masdar F. Mas’udi;
4. Kontekstualisasi-mazhabi responsi-kritis emansipatoris pada tema pemikiran fikih sosial, yang direpresentasikan oleh Sahal Mahfudh dan Ali Yafie.

Berdasarkan tipologi Fuad di atas, tampaknya polemik judicial review terhadap UU No. 2 ayat (2) dan UU. No. 43 ayat (1), antara MK dan MUI berangkat dari sudut pandang yang berbeda. MK merepresentasikan kelompok kedua, yakni rekonstruksi-interpretatif responsi-simpatis partisipatoris. Sedangkan MUI merupakan representasi dari kelompok pertama, yakni kontekstualisasi-mazhabi responsi-simpatis partisipatoris. MUI dalam hal ini masih berpegang pada pendapat-pendapat mazhab dalam fikih. Sedangkan MK telah bertentangan dengan prinsip ijma’ yang dalam ilmu ushul fikih, mayoritas ulama -jika tidak semua- mengatakan bahwa ijma’ adalah konsensus yang mengikat dan tidak dapat dirubah oleh generasi setelahnya, karena pemahaman rekonstruksi–interpretatif yang tidak begitu mengikat terhadap satu hukum. Itulah yang menyebabkan MUI bersikeras untuk tetap mempertahankan UU No 43 ayat (1), karena ketika ada tambahan  (dari MK) “…serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” maka berarti MK mengakui adanya hubungan perdata antara anak hasil zina atau anak hasil nikah sirri dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Padahal dalam ijma’ disebutkan bahwa para ulama bersepakat bahwa anak zina hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang tidak menjelaskan secara rinci tentang status anak luar kawin. Hanya dijelaskan bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Kedudukan luar kawin ini akan diatur secara tersendiri dalam peraturan pemerintah.  Tetapi menurut Abdul Manan, sampai tahun 2006 -dan barangkali juga sampai sekarang- Peraturan Pemerintah dimaksud belum diterbitkan. Jadi wajar jika kemudian timbul permasalahan yang dimunculkan Machica.

Demikian pula hanya dengan UU No. 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah, jikalau para pemohon menyadari bahwa saat ini umat manusia hidup di era hukum tertulis di mana kodifikasi hukum sebagai cirinya -meminjam istilah Amin Summa- dan mengetahui yang terjadi di hampir semua negara Islam di dunia, niscaya ayat tersebut tidak perlu dipermasalahkan.

Menurut Amin Summa, salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang tak kalah penting –terutama di era hukum tertulis dengan kodifikasi hukum sebagai ciri utamanya- ialah asas legalitas. Asas ini pada intinya mengajarkan bahwa setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat yang berwenang. Semua Undang-Undang perkawinan Islam di dunia Islam mengamanatkan arti penting dari pencatatan setiap perkawinan. Selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga Negara masing-masing, asas legalitas juga mempermudah para pihak terkait dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan UU perkawinan di sebuah Negara. Menurut Summa, asas legalitas seyogyanya tidak difahami dalam konteks administrasi semata, akan tetapi idealnya juga memiliki nilai hukum normatif yang bersifat mengikat dalam pengertian pencatatan perkawinan akan turut menentukan sah tidaknya sebuah akad nikah yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan, sehingga praktik kawin di bawah tangan (kawin sirri) dapat ditekan. Dari sisi syar’i pelegal-formalan asas legalitas juga ditopang oleh QS Al-Baqarah: 283. Walaupun tidak secara khusus ayat tersebut berbicara tentang transaksi nikah, tetapi transaksi nikah juga termasuk di dalamnya.
 
Namun demikian, harus diakui, kebanyakan negara-negara Islam menetapkan bahwa pencatatan perkawinan hanya masalah administrasi dan tidak terkait dengan keabsahan perkawinan. Di antara negara yang secara tegas menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berpengaruh terhadap keabsahan perkawinan, tidak hanya sekedar masalah administrasi, adalah Negara Yaman Selatan dan Malaysia. Sedangkan UU Perkawinan di Indonesia menyebutkan tentang pencatatan nikah ini secara ambigu, artinya dapat diartikan hanya sekedar kewajiban administrasi atau menjadi keabsahan nikah (sah tidaknya nikah).

Karenanya, Dalam keterangan  M. Nurul Irfan sebagai tim ahli pemohon (Machica), disebutkan bahwa dalam fikih tidak pernah disebut bahwa pernikahan harus dicatat, walaupun Irfan mengakui bahwa sebagai warga memang ada kewajiban taat ulil amri yang selama ini mewajibkan adanya pencatatan nikah. Argumen seperti ini sesungguhnya tidak perlu, karena dalam fikih juga tidak pernah disebut tentang kodifikasi hukum yang terdiri dari bab dan pasal. Namun saat ini kita menggunakan kodifikasi hukum tersebut. Sesungguhnya ini hanyalah sarana untuk tercapainya kemaslahatan agama sesuai dengan zamannya. Dan bahkan hampir semua Negara Islam -jika tidak semua- ternyata juga melakukan hal yang sama, karena kita memang hidup di era kodifikasi hukum, bukan era fikih klasik seperti di kitab-kitab kuning.

Catatan untuk Keputusan MK Nomor 46/PUU-IX/2011
 


Palu hakim MK memang telah digedhok untuk keputusan Nomor 46/PUU-IX/2011 tentang perkawinan. Namun tidak ada salahnya perlu kita cermati kembali beberapa catatan untuk MK, khususnya untuk pelajaran buat keputusan-keputusan masa mendatang:
  1. Putusan tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan memperjelas peruntukannya. Misalnya apakah putusan itu berlaku untuk anak-anak korban kawin sirri atau perzinaan, kumpul kebo, perselingkuhan dan sebagainya. Selain itu, putusan ini harus ditujukan untuk perlindungan anak di luar nikah, bukan legalisasi kawin sirri dan perzinaan. Jika tidak, maka MK berarti menentang ijma’ yang menjadi keyakinan beragama mayoritas umat Islam. Jika MK menerjang keyakinan tersebut, maka dapat bertentangan dengan Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Selama ini MK berdalih bahwa ia mengabulkan judicial review Machica UU perkawinan No. 2 ayat (2) dan UU No. 43 ayat (1), karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Tetapi sesungguhnya setelah mengabulkan permohonan Machica, MK juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 di atas, karena dengan demikian berarti MK tidak menjamin tiap-tiap penduduk untuk menjamin agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu, yakni menjadikan anak haram itu sebagai anak yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
  2. Tanpa adanya kejelasan peruntukan keputusan Nomor 46/PUU-IX/2011, Lembaga perkawinan seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Peradilan Agama yang banyak mengurusi talak, rujuk dan perceraian bakal tak penting lagi. Tentu orang licik akan mencari jalan secara licik pula untuk melampiaskan hasrat biologisnya. Putusan MK itu justru merusak lembaga perkawinan itu sendiri. Kebanyakan orang akan membaca dan menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah hubungan biologis seorang bapak dengan anaknya. Sebenarnya maksud MK baik, yakni untuk mengembalikan hak anak, tetapi cara yang dilakukan termasuk over, karena dengan demikian yang dapat memanfaatkan hasil keputusan tersebut tidak hanya pasangan kawin sirri, tetapi juga pasangan kumpul kebo.
  3. Perlu  adanya sinergi yang saling menguatkan antar lembaga di negara ini. Konflik MK VS MUI sesungguhnya seperti kasus anak-anak kecil yang sedang berkelahi dan tidak menunjukkan kedewasaan. MUI merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan bahasan keumatan yang di kemudian hari MUI akan merasakan dampaknya, melalui cecaran pertanyaan seputar masalah tersebut. Yang lebih unik lagi, ketika MK diundang oleh MUI untuk klarifikasi masalah, ternyata MK tidak datang. Walaupun barangkali MK berdalih menjaga kewibawaan, tetapi ini bukanlah keteladanan yang baik untuk para pejabat. Apalagi yang mengundang adalah ulama yang tidak memiliki maksud apa-apa kecuali kemaslahatan umat. Dengan tidak datangnya MK di hadapan MUI, sesungguhnya MK juga tidak menjaga kewibawaan MUI di hadapan umat.
  4. Ada kecenderungan keputusan MK memang memperluas objek masalah, tidak hanya ingin mengatasi masalah Machica. Tetapi entah apa maksud MK dalam hal ini. Memperluas objek masalah sebenarnya merupakan hak prerogatif MK, tetapi akan menjadi masalah baru tatkala jenis perluasan tersebut bertentangan dengan UU lainnya atau aturan agama yang menjadi keyakinan umat. Itulah yang dikatakan sebagai perluasan yang berlebihan (over). Dalam kasus ini, sesungguhnya yang dimohonkan oleh Machica adalah pengakuan M. Iqbal ramadhan sebagai anak kandung Moerdiono, karena mereka adalah pasangan sirri yang memiliki bukti cukup dalam proses nikahnya. Tentu siapapun akan berpikir, bahwa semestinya MK mengkhususkan keputusannya hanya untuk pernikahan sirri, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kalimat keputusannya adalah seperti ini, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” Sesungguhnya MK bisa saja memutuskan seperti ini, “… yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan alat bukti lain menurut agama mempunyai hubungan darah.” Jika kalimatnya seperti itu, tentu yang dapat masuk di situ adalah pernikahan sirri saja. Bukti lain menurut agama itu berarti adalah dua saksi, wali, termasuk bukti pendukung berupa foto-foto atau video resepsi pernikahan dan lain sebagainya. Padahal jika kalimatnya demikian, itu sudah cukup untuk Machica yang sedang memperjuangkan anaknya. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh MK, malahan MK menyebutkan, “…yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah.” Dari kalimat tersebut tentu dapat difahami bahwa pembuktian melalui Iptek saja sudah cukup, sehingga menafikan pembuktian agama. Maka wajar jika banyak yang beranggapan bahwa dengan keputusan tersebut, MK membawa Negara ini menjadi Negara sekuler.
  5. Sebelum keputusan itu ditetapkan, MK sebelumnya telah melakukan dengar pendapat dengan DPR dan Pemerintah, yang keduanya sepakat menolak judicial review yang diajukan Machica, dengan sekian argumen yang disampaikan. Tetapi itulah MK, yang saat ini sedang di atas angin. MK tetap memenangkan gugatan Machica. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian MUI menganggap MK seperti Tuhan selain Allah.
Penutup
 

Tatkala ajaran Islam menganggap anak zina sebagai anak yang memiliki hukum tersendiri, ini bukan berarti diskriminasi terhadap anak tersebut. Jika memang itu dianggap melanggar HAM karena adanya diskriminasi terhadap anak, yang itu bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2), maka sesungguhnya ada cara lain yang lebih syar’i untuk tidak mendiskrimasikan anak tersebut dan juga sekaligus tidak bertentangan dengan ajaran agama. 

Cara lain tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan oleh MUI, yaitu dengan cara mewajibkan wasiat wajibah untuk anak. Untuk pertama kali wasiat wajibah ini  diperkenalkan oleh UU perkawinan di Mesir, yang kemudian diikuti oleh setidak-tidaknya 4 negara Timur Tengah lainnya. Dan jika dikehendaki oleh yang berwenang dalam membuat UU di Indonesia, itu juga dapat diberlakukan.

Dengan dikeluarkannya UU MK Nomor 46/PUU-IX/2011, tentu merupakan pembelajaran yang baik untuk umat Islam di masa mendatang. Proses pembelajaran yang terus-menerus itulah yang kemudian mengantarkan umat menuju ideal atau mendekati ideal. Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab.
Share this history on :
Comments
0 Comments

0 Komentar:

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...